Hitekno.com - Kepala Misi Pencari Fakta Independen Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Myanmar, Marzuki Darusman, mengatakan bahwa berdasarkan penyelidikannya Facebook memiliki peran penting dalam penyebaran ujaran kebencian dan pembantaian etnis Rohingya di negara itu.
"Facebook telah ... secara substansi berkontribusi terhadap meningkatnya ketajaman dan pertikaian di publik. Ujaran kebencian jelas adalah bagian di dalamnya," jelas Marzuki, mantan Jaksa Agung Indonesia pada periode 1999-2001, seperti dilansir Reuters, Senin (12/3/2018).
Lebih dari 650.000 Muslim Rohingya lari meniggalkan kampung halamannya di Negara Bagian Rakhine sejak Agustus tahun lalu. Sebagian besar di antara mereka mengungsi di Bangladesh, setelah menyaksikan rekan serta keluarga mereka dibantai, disiksa, serta diperkosa.
Facebook berubah menjadi monster
Investigator PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee, mengatakan Facebook memainkan peran besar dalam kehidupan publik dan individual di Myanmar. Pemerintah Myanmar juga menggunakannya sebagai alat untuk menyebarkan informasi ke publik.
"Di Myanmar, semuanya dilakukan melalui Facebook," jelas Lee sembari menambahkan bahwa Facebook telah banyak membantu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat di negara itu.
"Facebook diguakan untuk menyebarkan pesan ke publik, tetapi kita juga tahun bahwa kelompok ultranasionalis Budha juga menggunakan Facebook dan memantik banyak kekerasan serta kebencian terhadap Rohingya atau kelompok minoritas lainnya," imbuh dia.
"Saya khawatir bahwa Facebook telah berubah menjadi monster," ia mewanti-wanti.
Sebuah laporan yang disusun New York Times pada Oktober tahun lalu sebenarnya telah menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok garis keras Budha Myanmar memanfaatkan Facebook menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian yang menyasar kelompok Rohingya.
Wajah Teror dari Budha
New York Times dalam laporan bertajuk "A War of Words Puts Facebook at the Center of Myanmar’s Rohingya Crisis" secara khusus menyebut Ashin Wirathu, biksu Budha yang juga tokoh ultranasionalis di Myanmar.
Wirathu, yang oleh majalah Time dijuluk "wajah teror umat Budha" sebenarnya sudah dilarang pemerintah Myanmar untuk berkotbah di tempat-tempat umum. Tetapi ia justru menemukan tempat yang lebih efektif untuk menyebarkan kebencian: Facebook.
Setiap hari dia mengunggah konten di Facebook yang isinya menyebut bahwa kelompok Muslim Rohingya sebagai "orang luar yang agresif." Banyak dari konten Wirathu berisi informasi palsu alias hoaks, tetapi Facebook tak melalukan apa-apa untuk menghentikannya.
"Facebook bergerak cepat untuk menghapus konten swastika (lambang Nazi), tetapi mereka tak berbuat apa-apa ketika Wirathu menyebarkan pidato yang mengatakan bahwa Muslim adalah anjing," kata Phil Robertson, deputi direktur Human Rights Watch Asia.
Pada akhir Februari kemarin Facebook mengaku telah menghapus akun Wirathu karena konten-konten anti-Islam yang banyak diunggahnya. Laman Facebook-nya juga pernah diblok pada Januari lalu.
Wirathu sendiri pada akhir 2017 lalu pernah mengatakan bahwa akunnya sering diblokir karena "Facebook dikuasai oleh orang Islam."
Meski akun dan lamannya sudah diblokir, sejumlah pengamat mengatakan langkah itu tak banyak berguna.
"Mereka menghapus akunnya, tetapi bukan video-videonya serta ujaran-ujaran kebenciannya yang berkedok kotbah keagamaan. Konten-konten itu masih ada di Facebook dan para pengikutnya terus menyebarkannya," kata Thet Swe Win, aktivis hubungan antaragama di Yangon kepada AFP.