Hitekno.com - Profesi sebagai seorang buzzer di media sosial memang menarik, karena pendapatannya yang tak sedikit. Dan menjelang Pemilu 2019, mulai ramai profesi buzzer politik di media sosial.
Menurut peneliti Center for Innovation Policy and Governance (CIPG) Rinaldi Camil, pendapatan buzzer politik di media sosial bisa setara upah minimum regional (UMR).
''Untuk buzzer-buzzer yang bekerja di lini depan, yang menganggap buzzer sebagai sebuah profesi atau pekerjaannya, biasanya dipekerjakan oleh agensi dengan bayaran UMR atau di bawah UMR,'' ujar Rinaldi kepada Antara di Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Baca Juga: 4 Hal Ini Sebaiknya Tak Kamu Bagikan di Media Sosial
Artinya, buzzer di wilayah DKI Jakarta dapat menerima upah hingga Rp 3,9 juta per bulan dengan jam kerja delapan hingga sepuluh jam sehari.
Rinaldi menjelaskan bahwa industri buzzer politik memiliki tiga aktor utama yang memiliki perannya masing-masing. Pertama, pengguna biasanya partai politik. Kemudian, perantara antara user dan buzzer yang biasanya digawangi agensi.
Selanjutnya, di tingkatan paling bawah adalah buzzer. Lazimnya buzzer bekerja secara individu bisa pula berkelompok di bawah kepemimpinan kordinator.
Baca Juga: Ini Dampak Media Sosial bagi Generasi Muda Menurut Paus Fransiskus
Seorang koordinator buzzer, menurut Rinaldi, dapat mengantongi Rp 6 juta per bulan. Tenaga-tenaga buzzeryang direkrut biasanya adalah mahasiswa atau pelajar, sedangkan koordinator buzzer biasanya mereka yang lebih senior.
''Kampus-kampusnya bisa di sekitar Jakarta. Mereka (buzzer) biasanya karena memang mencari kerja. Karena motifnya uang dan masih minim pengalaman, tentunya gaji-gaji UMR sangat menarik bagi mereka,'' kata Rinaldi.
Namun, CIPG tidak memiliki angka pasti seberapa besar industri buzzer politik dan jumlah buzzer politik yang digunakan oleh setiap kandidat pasangan calon. (Suara.com/ Liberty Jemadu).
Baca Juga: Facebook Kehilangan Pasar, Pengguna Media Sosial ini Meningkat