Hitekno.com - Facebook menjadi salah satu tempat beredarnya konten misinformasi, bahkan jumlahnya terus meningkat hingga tiga kali lipat sejak 2016.
Berdasarkan penelitian dari German Marshall Fund, banyak pengguna yang mengklik dan membaca konten dari penerbit yang berulang kali memunculkan konten palsu.
Selain itu, konten dari situs web yang gagal mengumpulkan dan menyajikan informasi secara bertanggung jawab juga telah meningkat sebesar 293 persen.
Baca Juga: Manfaatkan Teknolog AI, Facebook Bantu Lawan Perubahan Iklim
German Marshall Fund menyebut bahwa Fox News, Daily Wire, Breitbart, The Blaze, adalah contoh situs web yang gagal mengumpulkan dan menjadikan informasi secara bertanggung jawab dan dianggap sebagai "Manipulator".
DJHJ Media, The Federalist, Red State Observer, Wayne Dupree, dan WND pun termasuk ke dalam "Produsen Konten Palsu". Hanya sepuluh situs web yang tertanggung jawab atas 62 persen interaksi dengan konten palsu.
Untuk mengklasifikasikan situs web, para peneliti menggunakan NewsGuard, sebuah plug-in browser yang menilai situs web berdasarkan kepercayaan mereka dan perusahaan pelacakan media sosial NewsWhip untuk mengukur penyebaran artikel.
Baca Juga: Dianggap Terlalu Seksi, Facebook Blokir Foto Bawang
Para peneliti menemukan bahwa interaksi dengan konten dari "Manipulator" pada kuartal kedua 2020 lebih besar daripada semua interaksi pada 2017.
Tim juga menemukan bahwa meskipun konten dari semua situs yang dipantau meningkat perlahan antara 2016 dan 2019, ada lonjakan sebesar 177 persen selama 2020.
Para peneliti juga memperingatkan terhadap rantai pasokan disinformasi, di mana pelaku akan menanamkan cerita yang menjadi sah dengan jumlah yang diulang, baik melalui grup Facebook hingga algoritma.
Baca Juga: Begini Caranya Akses Facebook Gratis untuk Pelanggan Smartfren
Dilansir dari The Independent pada Sabtu (17/10/2020), konten itu dirancang untuk menjadi argumentatif, berlawanan dengan media arus utama, dan sering kali bertentangan dengan kearifan konvensional sehingga lebih menarik pembaca dan membagikannya.
Selain itu, para peneliti mengatakan penerbit yang tidak mempublikasikan informasi secara bertanggung jawab, tetapi tidak menyajikan konten palsu, gagal diambil oleh pemeriksa fakta Facebook.
Meski begitu, Facebook juga dikritik karena tampaknya memberikan perlakuan istimewa untuk halaman sayap kanan. Perusahaan jejaring sosial itu pun dikecam karena mengizinkan kebohongan pada iklan politik di platformnya dan memungkinkan untuk ditargetkan secara mikro ke pengguna tertentu.
Baca Juga: DM Instagram Resmi Gabung dengan Facebook Messenger
Namun, Facebook mengatakan telah membangun jaringan pemeriksa fakta terbesar dari platform apa pun, melakukan investasi dalam menyoroti pelaporan asli dan informatif, hingga mengubah layanannya untuk memastikan lebih sedikit pengguna yang melihat informasi palsu.
Terkait dengan informasi yang salah, Google baru-baru ini meluncurkan kampanye baru untuk membantu orang menemukan cerita palsu dan informasi yang salah, dengan iklan yang mendorong pengguna untuk memeriksa apakah suatu konten berasal dari sumber tepercaya hingga waspada terhadap gambar yang dimanipulasi.
Itulah hasil penelitian yang mendapati peningkatan konten misinformasi di Facebook, bahkan sampai tiga kali lipat sejak 2016. (Suara.com/ Lintang Siltya Utami).