Hitekno.com - Kenapa gunung api Anak Krakatau di Selat Sunda masih terus di awasi? Seberapa bahayakah gunun api ini?
Pada 22 Desember 2018 pukul 21.03 WIB, sebuah bongkah seluas 64 hektare dari gunung api Anak Krakatau longsor di lautan setelah erupsi.
Longsoran ini menciptakan tsunami yang menghantam wilayah pesisir di Jawa dan Sumatra, menewaskan setidaknya 426 orang dan melukai 7.202 orang.
Baca Juga: BMKG Pantau Aktivitas Gunung Anak Krakatau dengan Aplikasi Khusus
Data satelit dan rekaman helikopter yang diambil pada 23 Desember mengonfirmasi bahwa bagian sektor barat daya dari gunung api tersebut telah ambruk ke laut.
Dalam sebuah laporan 29 Desember, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM menyatakan bahwa tinggi Anak Krakatau turun dari 338 meter di atas permukaan laut ke 110 meter.
Thomas Giachetti dan koleganya menerbitkan satu riset pada 2012 yang meneliti bahaya yang ditimbulkan situs ini dan menemukan bahwa, meski sangat sulit untuk memperkirakan jika dan kapan Anak Krakatau akan runtuh sebagian.
Baca Juga: Diduga Picu Tsunami, Ini Alasan NASA Awasi Gunung Anak Krakatau
Dan juga karakteristik gelombang yang dihasilkan oleh peristiwa semacam ini tidak sepenuhnya tidak dapat diprediksi.
Dipicu longsoran
Meski sebagian besar tsunami memiliki asal-usul seismik (misalnya, tsunami di Aceh pada 2004 dan tsunami di Tohuku Jepang pada 2011), mereka juga dapat dipicu oleh fenomena yang terkait dengan letusan gunung berapi besar.
Baca Juga: Tetap Waspada, Ini Sejarah Tersembunyi Gunung Anak Krakatau
Tsunami yang disebabkan gunung berapi dapat dipicu oleh ledakan bawah laut atau oleh aliran piroklastik yang besar—campuran panas gas vulkanik, abu dan balok yang bergerak dengan kecepatan puluhan kilometer per jam–jika mereka masuk ke dalam badan air.
Penyebab lainnya adalah ketika sebuah kawah besar terbentuk karena runtuhnya atap kamar magma–sebuah reservoir besar batuan panas di bawah permukaan bumi–setelah letusan.
Di Anak Krakatau, massa besar yang meluncur dengan cepat yang menghantam air menyebabkan tsunami. Jenis peristiwa ini biasanya sulit diprediksi karena sebagian besar massa yang meluncur berada di bawah permukaan air.
Baca Juga: Tetap Waspada, Ini 5 Fakta Unik Gunung Anak Krakatau
Tanah longsor vulkanik seperti di gunung api Anak Krakatau ini dapat menyebabkan tsunami besar.
Tsunami yang dipicu oleh tanah longsor mirip dengan apa yang terjadi di Anak Krakatau yang terjadi pada Desember 2002 17 juta meter kubik (600 juta kaki kubik) material vulkanik dari gunung api Stromboli, di Italia, memicu gelombang setinggi 8 meter.
Baru-baru ini pada Juni 2017, gelombang setinggi 100 meter dipicu oleh tanah longsor 45 juta meter kubik di Karrat Fjord di Greenland menyebabkan naiknya gelombang air laut secara cepat.
Hal ini mendatangkan malapetaka dan menewaskan empat orang di desa nelayan Nuugaatsiaq yang terletak sekitar 20 km dari lokasi keruntuhan.
Kedua tsunami ini memiliki sedikit kematian korban karena terjadi di lokasi yang relatif terisolasi (Karrat Fjord) atau selama periode tanpa aktivitas wisata (Stromboli). Ini jelas tidak terjadi di Anak Krakatau pada 22 Desember.
Anak Krakatau
Bagian dunia ini berpengalaman dengan gunung berapi yang merusak. Pada 26-28 Agustus 1883, gunung api Krakatau mengalami salah satu letusan gunung berapi terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah manusia.
Gunung Api Krakatau menghasilkan 15 meter (50 kaki) gelombang tsunami dan menyebabkan lebih dari 35.000 korban tewas di sepanjang pantai Selat Sunda di Indonesia.
Hampir 45 tahun setelah letusan dahsyat pada 1883 ini, Anak Krakatau muncul dari laut di lokasi yang sama dengan bekas Krakatau, dan tumbuh mencapai sekitar 338 meter (1.108 kaki), ketinggian maksimumnya pada Desember 22, 2018.
Banyak tsunami yang terjadi selama letusan 1883. Bagaimana mereka dihasilkan masih diperdebatkan oleh ahli vulkanologi, karena beberapa proses vulkanik mungkin telah berlangsung secara berturut-turut atau bersama-sama.
Thomas Giachetti meneliti masalah ini pada 2011 dengan rekan-rekannya Raphaël Paris dan Karim Kelfoun dari Université Clermont Auvergne di Prancis, dan Budianto Ontowirjo dari Universitas Tanri Abeng di Indonesia.
Namun, waktu singkat yang tersisa dalam fellowhsip postdoctoral Thomas Giachetti membuatnya beralih arah dari ledakan abad ke-19 untuk fokus pada Anak Krakatau.
Pada 2012, Thomas Giachetti menerbitkan sebuah makalah berjudul ''Bahaya Tsunami terkait Keruntuhan Sisi Gunung Api Anak Krakatau, Selat Sunda, Indonesia.''
Penelitian ini dimulai dengan pengamatan bahwa Anak Krakatau sebagian terbangun di atas dinding kawah yang curam akibat letusan Krakatau 1883. Karena itu kami bertanya pada diri sendiri, ''bagaimana jika bagian dari gunung berapi ini runtuh ke laut?''
Untuk menjawab pertanyaan ini, kami secara numerik mensimulasikan destabilisasi sebagian besar gunung berapi Anak Krakatau ke arah barat daya secara tiba-tiba, dan selanjutnya pembentukan serta perambatan tsunami.
Kami menunjukkan hasil yang memproyeksikan waktu kedatangan dan amplitudo gelombang yang dihasilkan, di Selat Sunda dan di pantai Jawa dan Sumatra.
Ketika memodelkan tsunami yang dipicu oleh tanah longsor, beberapa asumsi perlu dibuat mengenai volume dan bentuk tanah longsor, cara ia runtuh (dalam sekali ambrol versus dalam beberapa kegagalan), atau cara perambatannya.
Dalam studi itu, kami membayangkan ''suatu skenario kasus terburuk'' dengan volume 0,28 kilometer kubik material vulkanik yang runtuh–setara dengan sekitar 270 bangunan Empire State New York.
Kami memperkirakan bahwa semua pantai di sekitar Selat Sunda berpotensi terkena gelombang lebih dari 1 meter kurang dari 1 jam setelah kejadian.
Sayangnya, tampaknya temuan kami tidak jauh dari apa yang terjadi pada 22 Desember: Waktu kedatangan dan amplitudo gelombang yang teramati berada dalam kisaran simulasi kami, dan ahli kelautan Stephan Grilli dan rekannya memperkirakan bahwa 0,2 kilometer kubik tanah benar-benar runtuh.
Sejak tanah longsor terjadi itu, telah terjadi letusan Surtseyan terus menerus. Ini melibatkan interaksi eksplosif antara magma gunung berapi dan air di sekitarnya, yang membentuk kembali Anak Krakatau karena terus perlahan meluncur ke barat daya.
Indonesia tetap waspada. Para pejabat terus memperingatkan tentang potensi lebih banyak tsunami. Sementara menunggu, ada baiknya kembali merujuk ke riset yang telah melihat potensi bahaya yang disebabkan oleh gunung berapi.
Tulisan mengenai anak Krakatau ini sudah dimuat di Suara.com dengan judul Mengapa Anak Krakatau Masih Berbahaya?.