Hitekno.com - Selama berpuluh-puluh tahun, ilmuwan dengan penelitian ilmiahnya memperingatkan bahwa perubahan iklim bisa menjadi ancaman global.
Memperingati Hari Bumi yang jatuh pada hari ini (22/04/2019), banyak aktivis dan juga ilmuwan yang semakin aktif memperingatkan penduduk global.
Pada kenyataannya, jika perubahan iklim adalah sebuah perang, kita harus totalitas dalam menghadapinya.
Baca Juga: Penelitian Genetik Ungkap Siapa Pembuat Stonehenge Sebenarnya
Bagaimana tidak, nyawa jutaan penduduk global akan menjadi taruhannya dalam beberapa dekade berikutnya.
Meski sudah banyak pertemuan membahas perubahan iklim, masih sedikit aksi gabungan seluruh negara dalam menjalankan aksinya secara nyata.
Mereka masih disibukkan dengan urusannya masing-masing, sehingga perubahan iklim bukanlan isu utama yang menjadi prioritas.
Baca Juga: Ilmuwan Temukan dari Mana Mimpi Buruk Berasal, Ini Hasil Penelitiannya
Tahun 2018, para pakar ilmu iklim di dunia, Intergovernmental Panel on Climate Change, merilis sebuah laporan terbaru.
Laporan penelitian itu berisi tenggat waktu yang dibutuhkan manusia untuk menghadapi perubahan iklim berdasarkan matematika dan sains.
Para peneliti mengatakan bahwa polusi karbon global harus dikurangi setengahnya pada tahun 2020.
Baca Juga: Kontroversial, Penelitian Ini Mengungkapkan Ada Jamur dan Mikroba di Mars
Dan harus ditekan menjadi nol di tahun 2050 untuk menghindari konsekuensi buruk.
Konsekuensi yang disebutkan ilmuwan termasuk kota pinggir pantai yang tenggelam, badai semakin memburuk, dan kematian global terumbu karang.
Seberapa jauh kita berkomitmen memerangi perubahan iklim? Jawabannya adalah kita masih belum benar-benar memulainya.
Baca Juga: Penelitian Ini Jelaskan Penampakan Hantu Secara Ilmiah
Dikutip dari CNN, emisi global dari bahan bakar fosil naik pada tahun 2018 menjadi sekitar 37 gigaton.
Jika polusi global harus dikurangi 50 persen dalam waktu 11 tahun, kita perlu pergerakan masif secara global, melibatkan puluhan negara.
Itu membutuhkan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, seperti angin, sinar Matahari, atau mungkin nuklir.
Kini, mobil listrik di beberapa negara maju harganya sudah mulai terjangkau. Namun itu sama saja ketika puluhan negara lain masih menggunakan bahan bakar fosil untuk industrinya.
Jika kita masih ingat gelombang udara panas di Eropa pada tahun 2003, kita tak boleh menganggap remeh perubahan iklim.
Menurut penelitian yang diterbitkan di jurnal Comptes Rendus Biologies, badai gelombang panas Eropa diperkirakan menyebabkan 70 ribu orang meninggal dunia.
Badai topan di dekat samudra Pasifik dan samudra Hindia diketahui juga meningkat intensitasnya.
Penelitian dari George Washington University menyebutkan bahwa badai dari tahun 2016 di beberapa negara bagian AS telah menewaskan lebih dari 2900 orang.
Badai Harvey di Texas, Badai Maria di Puerto Rico, dan beberapa banjir besar lainnya terbukti secara ilmiah disebabkan perubahan iklim.
Kerry Emanuel, ilmuwan iklim MIT menjelaskan bahwa tidak ada bencana yang ''alami'' sekarang.
Sebagian besar bencana terpengaruh perubahan iklim, yang diketahui penyebabnya adalah ulah manusia dalam memanaskan atmosfer.
''Cuaca sekarang terbentuk dari pengaruh perubahan iklim. Badai semakin intensif, kebakaran hutan tumbuh lebih besar dan lebih mengancam, dan curah hujan lebih tinggi. Terumbu karang juga berjuang untuk bertahan hidup. Tak ada bencana yang 'alami' sekarang,'' kata Emanuel.
Jika kita tidak bertindak cepat secara global, generasi penerus kita akan menderita lebih besar dibandingkan kita.
Apabila benar-benar terjadi, maka kita sudah kalah dalam memerangi perubahan iklim.