Hitekno.com - Pola pikir masyarakat selama ini mengenai bank sampah ternyata kurang tepat. Kampanye yang menyatakan bank sampah lebih ke arah finansial justru membuat pola membuang sampah semakin bertambah sehingga edukasi reduce juga kurang tersampaikan dengan baik.
SEORANG IBU NAMPAK berhati-hati menapaki satu per satu anak tangga sebuah panggung dalam gelaran Pameran Potensi Daerah (PPD) Sleman 2019.
Deretan sampah dan beberapa hasil kerajinan serupa bunga serta dompet yang cukup menarik dibawanya ke atas panggung.
Baca Juga: Saring Sampah Plastik di Selokan Pakai Cara Ini, Netizen Auto Setuju!
Meski cukup kerepotan membawa aneka macam hasil kerajinan kreasinya saat mencapai panggung, senyum tetap terlihat mengembang di wajahnya dari kejauhan.
"Wah bagus sekali ibu karyanya, ini dari apa saja?" tanya pramuacara di panggung.
"Ini semua dari sampah, mbak. Ya, sampah yang biasa kita buang di sekitar kita," balas ibu itu dengan senyuman.
Baca Juga: Sudah Mendayung Sejauh 4.750 Kilometer, Malah Ketemu Sampah Plastik di Laut
Meski percakapan kedua orang di atas panggung kali itu terlihat gayeng, namun cukup bertolak belakang dengan kondisi sekeliling panggung yang kala itu kompetisi E-sport Mobile Legends.
Meski absurd, tetapi tak mengurangi semangat ibu tersebut terhadap lingkungan hidup di tengah anak muda yang asyik bermain game.
Meski begitu, tak sedikit juga dari anak muda yang hadir mengernyitkan dahi atau terkagum melihat barang-barang yang dibawa ibu berkerudung coklat.
Baca Juga: Jokowi Siap Tangani Masalah Sampah, Balasan Netizen Ini Bikin Ngakak
Tangannya sesekali menunjukan gestur menunjukan antusiasnya menjelaskan proses kreatifnya bersama kelompok kebanggaan.
Tak ketinggalan buku, brosur, kartu kwartet, bunga plastik, vespa mini dari kaleng dan dompet dari sampah plastik serta beberapa sampel sampah yang berhasil menjadi barang bernilai sesekai ditunjukan.
"Ini sampah kaleng, ini sampah plastik, yang ini bisa didaur ulang, yang ini tidak," katanya sambil memperkenalkan hasil kerajinan yang dibawanya.
Baca Juga: Miris, Keindahan Pulau Ini Tertutupi 414 Juta Sampah Plastik
"Itu semuanya bisa dijual bu?" lanjut pramuacara yang masih penasaran dengan barang kerajinan bawaan sang ibu itu.
"Iya ini kami jual di pameran. Karya dari ibu-ibu dan nasabah bank sampah," jawabnya setengah promosi.
"Wah hebat bu, ternyata sampah bisa menjadi uang ya kalau disulap jadi kerajinan cantik kayak gitu," timpal sang pembawa acara.
"Sebenarnya nilai uangnya mungkin tidak seberapa. Tapi efeknya bisa besar ke lingkungan ketika kita bisa tahu cara mengelola sampah," balas ibu yang belakangan saya ketahui bernama Ani Sumiarti, salah satu perintis Bank Sampah Kasturi.
Dalam gelaran PPD Sleman pada Juli 2019 silam, Ani diminta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sleman untuk menyosialisasikan bank sampah dan tata kelola sampah pada masyarakat pengunjung pameran.
Pada even tersebut, Ani memberikan penjelasan singkat selama 15 menit kepada pengunjung mengenai 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dan beberapa pengetahuan jenis sampah yang bisa didaur ulang.
"Saya hanya ingin warga masyarakat tahu bahwa sebaiknya sampah dikelola dengan baik, walaupun itu hanya dalam jumlah kecil, atau skop-nya kecil dalam rumah tangga, tapi silahkan dikelola, paling tidak kita bisa meringankan beban di TPA Piyungan," kata Ani saat menutup sosialisasi tentang pengelolaan sampah di acara PPD Sleman 2019.
Penjelasan tentang bank sampah yang dikelolanya menarik rasa ingin tahu saya lebih jauh. Tak ingin menyiakan waktu, usai meliput kompetisi E-sport Mobile Legends, saya berinisiatif bertanya lebih jauh mengenai aktivitas Ani Sumiarti yang menjalankan pengelolaan bank sampah bersama kelompoknya.
Bak gayung bersambut, keinginan itu pun membuahkan hasil. Saya disodori banyak brosur dan buku panduan mengenai tata kelola sampah.
Pun tak hanya itu, saya juga diundang mengunjungi Bank Sampah Kasturi yang berada di RT 04 RW 12 Karangasem Gempol, Condongcatur, Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Persoalan Sampah di Yogyakarta
Berbicara persoalan sampah, kekinian memang menjadi isu lingkungan yang cukup pelik. Saat ini di Yogyakarta hanya ada beberapa tempat pembuangan sampah yang bisa menampung tingginya volume sampah.
Pada Tahun 2018, Bappeda Yogyakarta mencatat daya tampung TPS di provinsi tersebut rata-rata mencapai 600 ton per hari. Sementara, volume sampah yang berhasil ditangani mencapai 583 ton per hari.
Tak selesai sampai di situ, isu sampah di Yogyakarta kembali menyeruak pada Maret 2019. Kala itu, TPST Piyungan mengalami masalah dan sempat ditutup sementara oleh warga sekitar.
Pun di wilayah Sleman, produksi rata-rata per harinya bahkan sudah mencapai lebih dari 600 ton per hari di awal 2019.
Tentunya hal tersebut menimbulkan masalah tersendiri dan semakin menambah beban di TPST Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, dan Bantul) yang ada di Piyungan, Bantul, Yogyakarta.
Persoalan tersebut tentunya memerlukan alternatif lain, untuk pengelolaan sampah yang selama ini hanya mengandalkan tempat pembuangan sampah terpadu (TPST).
Setidaknya, dibutuhkan peran bank sampah yang diharapkan mampu berkontribusi dalam mengelola plastik dan sampah agar bisa didaur ulang.
Hal tersebut seperti yang disampaikan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sleman Dwi Anta Sudibya. Dalam pernyataan tertulisnya, dia mengemukakan perlunya pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
"Pengurangan sampah yang ditetapkan 30 persen menjadi ujung tombak dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang telah dilakukan saat ini," katanya dalam pernyataan tertulis.
Salah satu ujung tombak dalam pengelolaan berbasis masyarakat, yakni melalui bank sampah. Seperti yang dilakukan Bank Sampah Kasturi.
Saat ditemui di PPD Sleman 2019, Sekretaris Jejaring Pengelolaan Sampah Mandiri (JPSM) Sleman, sekaligus salah satu perintis Bank Sampah Kasturi, Ani Sumiarti, mengatakan perlu mengubah pola pikir masyarakat tentang sampah sehingga keberadaan sampah tidak menjadi masalah.
Keberadaan JPSM berupa bank sampah yang kini digandeng oleh DLH melalui sosialisasinya, diharapkan dapat mengurangi sampah sebanyak 30 persen.
Kunjungan ke Bank Sampah Kasturi
Minggu (11/8/2019) menjadi hari yang saya pilih untuk melihat aktivitas Bank Sampah Kasturi yang aktif dalam pengelolaan sampah.
Meski terik matahari mulai menyengat, aktivitas di markas Bank Kasturi mulai ramai dikunjungi belasan hingga puluhan ibu-ibu yang akan menyetor sampah.
Berbagai barang sisa yang sudah tak terpakai, mulai dari jenis plastik hingga barang lainnya, ditenteng warga dalam kantong sampah di tangan mereka.
Meski harus mengantre, mereka rela menunggu giliran menimbang tumpukan sampah plastik atau barang bekas lainnya yang akan disetor dan bakal menjadi saldo simpanan.
"Ayo sini langsung ditimbang terus dicatat," kata salah satu pengurus Bank Sampah Kasturi, Devi Sarvika.
First Ieda, seorang ibu rumah tangga, langsung menyetor tumpukan sampah yang berhasil dikumpulkannya.
"Semoga dapat kali ini," kata Ieda yang juga menyetor uang Rp 10 ribu kepada pengurus.
Tak hanya simpanan saldo, Anggota Bank Sampah Kasturi juga mengadakan arisan untuk mempererat hubungan di antara pengurus dan nasabah bank sampah.
"Kita memang ada arisan mas setiap minggunya, tiap orang setor Rp 10 ribu. Sudah ada 125 orang yang gabung, termasuk pengurus. Dapatnya dua tahun sekali, setiap dapat nasabah bisa bawa uang Rp 1,25 juta," kata Devi.
Penasaran dengan semangatnya membawa sampah ke Bank Sampah Kasturi, memancing saya menanyakan alasannya bergabung menjadi nasabah.
"Sudah tiga tahun saya ikut di sini. Enak ya, sampah-sampahnya sekarang, jadi bersih enggak bingung harus buang ke mana. Kita juga bisa pisahkan ada kaleng, buku, kertas, plastik, dan botol. Hasilnya lumayan, nggak tahu, tiba-tiba dapet amplopan sebelum lebaran. Jumlahnya lumayan banyak, buat tambah-tambah belanja," kata Ieda.
Ia juga menjelaskan, sebelum Bank Sampah Kasturi didirikan, kerap berlangganan membuang sampah di tempat lain.
"Saya juga langganan. Kalau dulu kan istilahnya, semuanya masuk ke situ. Ternyata, masih ada barang-barang yang masih bisa dimanfaatkan. Dengan adanya bank sampah ini, sampah yang bisa dimanfaatkan dapat tersalurkan. Khusus untuk yang langganan, saya hanya buang sisa makanan saja. Sementara sampah yang lainnya bisa masuk ke bank sampah ini," jelas Ieda.
Seorang anggota Bank Sampah lainnya, Atik, mengaku tiap tiga bulan atau setahun dapat mengantongi ratusan ribu rupiah dari simpanan sampahnya.
Atik mengaku mendapatkan sampah dari rumahnya sendiri dan terkadang ada juga sampah titipan orang lain agar dimasukkan di bank sampah ini.
Ani menjelaskan kepada saya, tiap tiga bulan atau setahun sekali nasabah bisa menarik uangnya. Jumlahnya bervariasi, mulai dari yang terendah Rp 400 hingga ratusan ribu per tiga bulan atau dalam kurun waktu setahun.
Inovasi Bank Sampah
Saya menyempatkan berbincang dengan ketua Bank Sampah Kasturi, Sri Asmoroning. Dia bercerita tentang perjalanan dan pengalaman mengelola Bank Sampah Kasturi yang dirintis sejak tahun 2014 silam. Kala itu, Sri mengemukakan baru ada 10 ibu rumah tangga yang memulainya.
Usaha mereka ternyata tak sia-sia. Setelah dua tahun berjalan, DLH Sleman memberikan bantuan berbentuk rumah untuk memilah sampah.
Pun sejak itu, pengelolaan yang dilakukan di Bank Sampah Kesturi, tidak hanya sekedar mengumpulkan sampah plastik saja. Mereka membagi tugas, seperti mendaur ulang dan menjadikannya barang-barang kerajinan untuk beberapa nasabah yang ingin bergabung.
"Ada divisi kompos juga bekerja sama dengan kelompok tani sekitar sini, namanya Makmur Jaya. Untuk yang divisi kompos memang kita masih belum maksimal. Tapi yang divisi daur ulang dan bank sampahnya cukup berjalan baik sejauh ini," kata Sri menjelaskan.
Hingga saat ini, Sri mencatat total nasabah bank sampah yang sudah bergabung sebanyak 170 orang. Sementara yang aktif setor setiap minggunya sekitar 50 hingga 60 orang.
Aktifnya kegiatan Bank Sampah Kesturi dalam mendaur ulang, penyuluhan tata kelola sampah, hingga menjadikan barang terbuang menjadi kerajinan tangan berbuah beberapa penghargaan.
Jajaran penghargaan tersebut disampaikannya kepada saya, mulai dari Juara 1 Kategori Bank Sampah Tingkat Lanjut Provinsi Yogyakarta Tahun 2017, DIY Green & Clean dari Persada (CSR Unilever) Tahun 2016, dan sampai saat ini menjadi salah satu titik pantau Adipura Sleman.
Mendapat apresiasi berupa penghargaan tak kemudian membuat mereka kendur dalam beraktivitas dan mengampanyekan tujuan awalnya.
Bahkan, Bank Sampah Kasturi pun mulai berubah dan memosisikan diri mengedukasi masyarakat mengenai tata kelola sampah.
Tercatat ada beberapa sekolah yang telah disambangi untuk diberikan penyuluhan mengenai tata kelola sampah, seperti SMPN 5 Depok, SMP Muhammadiyah Depok, SDN Minomartani 1, SDN Percobaan 2 dan beberapa sekolah lainnya.
Untuk menarik perhatian dalam edukasi tata kelola sampah, Bank Sampah membuat media kampanye yang menarik. Pun untuk membuat kampanye tersebut lebih menarik, dibantu suami dari Ani Sumiarti yang merupakan seorang desainer grafis.
Hasilnya tak mengecewakan, beberapa media edukasi kreatif seperti brosur, booklet, spanduk hingga permainan kwartet untuk mengenal jenis-jenis sampah berhasil menarik perhatian anak.
Berkat permainan kwartet itulah, Ani Sumiarti sempat diminta untuk ikut mensosialisasikan tata kelola sampah pada sebuah pameran bertema peduli lingkungan di Jakarta.
Mereka juga mengadakan pelatihan kerajinan tangan bagi ibu-ibu yang ingin mengubah sampah plastik menjadi hiasan bunga atau dompet.
"Lumayan mas, kalau di pameran satu bunga itu bisa laku terjual Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu. Kalau yang dompet dari kemasan plastik, bisa laku Rp 30 ribu. Kerajinan bunga dari sampah plastik biasanya yang paling laris. Kemarin aja yang dibawa ke pameran sudah habis semua," kata Devi.
Lika liku Bank Sampah Kasturi
Perjalanan Bank Sampah Kasturi yang sudah memasuki lima tahun, ternyata tak selamanya mulus dan lancar. Bahkan, saat mereka memfokuskan diri beralih ke wilayah edukasi, membuat mereka bertemu masalah dalam perjalanannya.
Ani mengakui kendala yang kerap dihadapi dalam mengedukasi masyarakat masih seputar pola pikir masyarakat. Hal tersebut tergambar dalam grafik tata kelola sampah.
"Grafiknya masih naik mas, baik dalam tonase-nya atau keseluruhan sampah. Normalnya itu ya kalau tersosialisasi dengan baik dan masyarakat mau menerima harusnya turun," kata Ani.
Salah satu poin penekanan yang hilang adalah salah satu dari 3R yaitu reduce atau pengurangan sampah plastik. Ia menilai masyarakat sampai saat ini masih sulit mengurangi sampah plastik.
Beberapa dari nasabah bank sampah justru sangat semangat mengumpulkan sampah sehingga grafiknya justru naik.
"Kita enggak tahu mas, mereka dapat sampahnya dari mana saja. Beberapa dari nasabah kita berprofesi jadi ART (asisten rumah tangga). Tiap hari bahkan ada yang rutin kasih sampah. Mungkin mereka dapat dari kosan mahasiswa sekitar sini. Daerah sini memang ada kampus jadi kosan juga banyak," kata Devi.
Namun, beberapa nasabah rumahan diketahui grafiknya juga meningkat. Hal itu masih menjadi masalah dan akan dibenahi ke depannya.
Tak hanya sampah plastik, tata kelola sampah lainnya seperti pembakaran sampah di ruang terbuka juga masih sering dilakukan masyarakat.
Bahkan, meski anggota Bank Sampah Kasturi sudah melakukan sosialiasi, masih ada masyarakat yang membakar sampah di ruang publik.
Padahal dalam peraturan daerah maupun undang-undang ada larangan kegiatan seperti itu karena dapat mencemari lingkungan.
Seperti tertuang dalam UU RI nomor 18 tahun 2008 pasal 29 yang menyatakan 'Setiap orang dilarang membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah.'
Pun dalam Perda Kabupaten Sleman Nomor 4 Tahun 2015 pasal 49 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga yang menyatakan 'Setiap orang dilarang membakar sampah di tempat terbuka yang dapat menimbulkan polusi dan mengganggu lingkungan.'
"Kita sudah berusaha menggandeng masyarakat terkait dengan divisi kompos maupun sosialisasi terkait pelarangan pembakaran, tapi ya agak susah," kata Sri.
Masukan dan Kritik Terhadap Pemerintah
Bank sampah sebagai alternatif pengelolaan limbah rumah tangga sebenarnya tidak hanya berangkat dari kepedulian di tingkat warga, menurut Ani, keberadaannya perlu didukung dengan peraturan daerah yang mendukung mengenai tata kelola sampah.
"Yang jelas satu, sosialisasi itu harus benar-benar digalakan. Karena itu, menurut kami masih jauh dari target terkait bagaimana mengurangi sampah. Perda seharusnya juga lebih tegas dan diperkuat lagi. Sosialisasi itu bukan hanya ke warga lho, stakeholder yang ada di masyarakat juga perlu disosialisasi. Ketua RT, ketua RW, bahkan pak dukuh masih banyak yang belum tahu tentang tata kelola sampah," kata Ani.
Ia juga menyoroti bahwa iklan pemerintah mengenai bank sampah yang digembor-gemborkan seharusnya dapat difokuskan ke semangat memperbaiki lingkungan.
"Karena pemerintah juga kurang tepat, iming-imingnya apa? Uang... iming-imingnya finansial. Padahal kan seharusnya semangatnya lingkungan, tapi kalau mindset-nya sudah ke uang yang ke depannya masih sulit," katanya menambahkan.
Ia mengatakan bahwa ketika sosialisasinya sampah adalah uang, maka kegiatan Reduce atau pengurangan sampah justru sulit tercapai. Namun Sumiarti juga menilai itu mirip buah simalakama.
"Sebenarnya ya itu mirip buah simalakama. Tapi memang kalau enggak diiming-imingi uang masyarakat ya enggak kepengen. Namun pas itu diaplikasikan justru reduce-nya yang tidak tersampaikan," kata Sumiarti.
Oleh karenanya, kegiatan sosialisasi dan pembentukan pola pikir serta kampanye mengenai pentingnya lingkungan harus digalakan lagi.