Bernilai Rp 225 Ribu Triliun, Logam Langka dari Dasar Laut Ini Jadi Rebutan

Cukup menarik, Amerika Serikat justru tak mengikuti perlombaan pencarian logam langka di dasar samudra ini.

Agung Pratnyawan | Rezza Dwi Rachmanta

Posted: Senin, 18 November 2019 | 20:15 WIB
Ilustrasi batuan dasar samudra. (YouTube/ The Economist)

Ilustrasi batuan dasar samudra. (YouTube/ The Economist)

Hitekno.com - Semakin berkembangnya kebutuhan manusia menuntut mereka juga menggunakan alat serba canggih seperti smartphone, mobil listrik, hingga komputer. Jarang ada yang tahu, di ujung laut dalam tepatnya di dasar samudra, terdapat wilayah yang dipenuhi logam langka bernilai hingga 16 triliun dolar AS atau Rp 225 ribu triliun.

Warga sipil memang jarang ada yang tahu, namun wilayah tersebut sudah menjadi incaran penambang internasional dan beberapa tempat di antaranya dilindungi dengan kendaraan militer.

Banyak penambang internasional mulai mengembangkan teknologi untuk menggali lebih dalam di wilayah itu.

Baca Juga: Kenapa Air Laut Asin Bukan Tawar Seperti di Sungai?

Jika dilihat sekilas, batuan yang berisi logam langka bernilai tinggi tersebut hanya seukuran kentang.

Namun batuan-batuan itu hanya tersebar di dasar samudra sehingga diperlukan berbagai robot dan alat penambang modern untuk meraihnya.

Ilustrasi Samudra Pasifik. (Pixabay/ Michelle Maria)
Ilustrasi Samudra Pasifik. (Pixabay/ Michelle Maria)

Berkembangnya industri modern membuat beberapa logam langka seperti nikel, kobalt, dan mineral lainnya (dikenal dengan rare earth atau tanah jarang) mempunyai nilai yang super tinggi.

Baca Juga: Terkenal Sebagai yang Tercepat di Laut Dalam, Begini Kerangka Hiu Mako

Para ahli menyebutnya dengan nodul, dan mereka tersebar di dasar Samudra Pasifik.

Logam-logam atau tanah jarang sangat penting bagi industri modern karena mereka merupakan penyusun utama smartphone, baterai mobil listrik, hingga super komputer.

Terdapat 19 negara yang sudah "menyelam ke kedalaman" untuk mengeksplorasi rare earth atau tanah jarang, dengan China dan Rusia menjadi yang terdepan.

Baca Juga: Menakjubkan! Begini Gaya Paus saat Tidur di Bawah Laut

Pada suatu tempat di dasar samudra, terdapat triliunan nodul atau batuan "kentang" tanah jarang yang menunggu untuk diambil.

Perbandingan produksi rare earth atau tanah jarang antara Amerika Serikat dan China. (Wikipedia/ USGS)
Perbandingan produksi rare earth atau tanah jarang antara Amerika Serikat dan China. (Wikipedia/ USGS)

Wilayah laut dalam yang dikenal dengan nama Clarion Clipperton Zone (CCZ) atau Zona Clarion Clipperton menyimpan triliunan nodul bernilai tinggi.

Dilansir dari CBS News, para ahli memperkirakan bahwa CCZ yang terbentang sebesar 2 juta kilometer persegi pada Samudra Pasifik antara Hawaii hingga Meksiko mempunyai nilai hingga lebih dari 16 triliun dolar AS atau Rp 225 ribu triliun.

Baca Juga: Sedang Mancing, Pria Ini Temukan Ikan Laut Dalam Mirip Alien

Sejauh ini 19 negara mempunyai lisensi di CCZ, dengan China, Rusia, dan Jepang menjadi terdepan karena sudah memiliki teknologi canggih untuk mengeksplorasinya.

Beberapa negara yang sudah masuk CCZ dan berkonsentrasi mengambil nodul juga termasuk Perancis, Jerman, Korea, hingga Kuba dan Tonga.

Cukup menarik, dari 19 negara hanya Amerika Serikat yang merupakan negara maju tidak masuk dalam daftar.

Hukum Laut AS mencakup penambangan laut dalam, dan pada tahun 1994, Presiden Bill Clinton menandatangani perjanjian tersebut.

Hukum tersebut membuat AS tidak bisa masuk untuk ikut mengeksplorasinya.

Namun karena kebutuhan akan tanah jarang semakin mendesak dan mereka tidak ingin terlalu tergantung dengan China, maka 22 senator telah disiapkan untuk menentang perjanjian tersebut.

Sebagian ilmuwan khawatir bahwa penambangan laut dalam akan menghancurkan dasar laut, sebuah dunia yang tidak sepenuhnya kita pahami.

Dr Craig Smith, seorang ilmuwan ahli kelautan di Universitas Hawaii menjelaskan bahwa ratusan hingga ribuan spesies laut dalam akan terganggu bahkan habitatnya akan hancur jika penambangan di dasar samudra terus dilakukan.

Meski ditentang ilmuwan, logam langka yang bernilai ratusan ribu triliun rupiah sepertinya menjadi fokus utama para penambang untuk memperebutkannya di dasar samudra.

Berita Terkait
Berita Terkini

Melalui Yandex Cloud, Yandex Weather, dan Yandex School of Data Analytics (YSDA) berkolaborasi untuk mengintegrasikan ke...

sains | 12:33 WIB

Apa saja fitur canggih yang ada di CBR 150? Simak rinciannya di bawah ini....

sains | 12:12 WIB

Pertamina Foundation bersama Fakultas Kehutanan UGM telah melakukan kerja sama rehabilitasi hutan "Hutan Pertamina UGM"...

sains | 14:04 WIB

Dengan memanfaatkan algoritma AI, perusahaan ini berhasil membuka jalan bagi pengembangan obat terobosan potensial....

sains | 16:10 WIB

Objek ini punya suhu jauh lebih tinggi daripada matahari walaupun tak begitu terang. Objek apa gerangan?...

sains | 16:22 WIB