Ilmuwan Sebut Pemicu COVID-19 Ada di Tubuh Manusia Sejak Puluhan Tahun Lalu

SARS-Cov-2, virus pemicu COVID-19, memiliki mutasi genetik unik yang tak ditemukan pada virus corona yang ditemukan pada kelelawar dan terenggiling.

Agung Pratnyawan

Posted: Selasa, 31 Maret 2020 | 06:30 WIB
Ilustrasi Virus Corona COVID-19. (Centers for Disease Control and Prevention)

Ilustrasi Virus Corona COVID-19. (Centers for Disease Control and Prevention)

Hitekno.com - Virus corona jenis baru, SARS-CoV-2 disebut-sebut sebagai penyebab COVID-19. Namun kata ilmuwan, dimungkinkan sudah ada di dalam tubuh manusia puluhan tahun silam.

Ilmuwan menyebutkan adanya kemungkinan jika penyebab COVID-19 ini sudah ada di dalam tubuh manusia sebelum akhirnya terdeteksi di Wuhan, Hubei, China pada akhir 2019 kemarin.

Para ilmuwan dari sejumlah negara menganalisis data ilmuwan dari seluruh dunia untuk melacak jejak evolusi SARS-Cov-2 yang kini memicu wabah COVID-19 di seluruh dunia.

Baca Juga: Tak Hanya Droplet, Ilmuwan Sebut Virus Corona Bisa Menular Lewat Air Mata

Mereka menemukan bahwa ada kemungkinan virus itu sudah menyeberang dari binatang ke manusia jauh sebelum kasus infeksi di Wuhan pada Desember 2019.

SARS-Cov-2 memiliki mutasi unik yang diduga terjadi ketika virus itu berulang kali menginfeksi sejumlah kecil manusia dan bahwa mutasi itu tak ditemukan pada virus corona di dalam binatang yang diduga sebagai inangnya, seperti kelelawar atau trenggiling.

Francis Collins, Direktur Institut Kesehatan Nasional (NIH), Amerika Serikat, mengatakan studi ini membuka kemungkinan bahwa SARS-Cov-2 sudah ada di tubuh manusia jauh sebelum ia mampu memicu penyakit dalam tubuh kita. Collins tak terlibat dalam riset ini.

Baca Juga: Ilmuwan Peraih Nobel Prediksi Virus Corona Segera Berakhir?

"Sebagai hasil dari evolusi yang gradual selama bertahun-tahun atau puluhan tahun, virus itu akhirnya memunyai kemampuan untuk menyebar dari manusia ke manusia dan memicu penyakit serius," tulis Collins dalam sebuah artikel yang diterbitkan di website NIH, Kamis (26/3/2020).

Ilustrasi Virus Corona COVID-19. (Centers for Disease Control and Prevention)
Ilustrasi Virus Corona COVID-19. (Centers for Disease Control and Prevention)

Studi terbaru itu digelar Kristian Andersen dari Scripps Research Institute, California, AS; Andrew Rambaut dari University of Edinburgh, Skotlandia; Ian Lipkin dari Columbia University, New York, AS; Edward Holmes dari University of Sydney, Australia; dan Robert Garry dari Tulane University, New Orleans, AS.

Temuan para ilmuwan di atas diterbitkan di jurnal Nature Medicine edisi 17 Maret kemarin.

Baca Juga: Budiman Sudjatmiko: Ada Peringatan Ilmuwan Soal Virus Corona Sejak 2007

Mutan, bukan chimera

Ketika COVID-19 muncul di Wuhan pada Desember 2019, para ilmuwan China menduga virus corona pemicu wabah tersebut berasal dari virus yang ditemukan pada kelelawar gua di perbatasan China - Myanmar.

Virus dari kelelawar dan dari pasien di Wuhan memiliki kesamaan gen hingga 96 persen. Tetapi virus pada kelelawar tak bisa menginfeksi manusia, karena tak memiliki duri-duri protein yang bisa menjadi jalan masuk ke sel-sel manusia.

Baca Juga: Menurut Ilmuwan, Begini Kondisi Paru-paru yang Digerogoti Virus Corona

Para ilmuwan dari Guangzhou dan Hong Kong lalu menemukan virus corona yang memiliki duri protein pada tubuh trenggiling malaya. Ini memicu spekulasi bahwa SARS-Cov-2 adalah hasil rekombinasi - gabungan antara virus corona di kelelawar dan pada trenggiling.

Tetapi hasil studi baru menunjukkan bahwa virus SARS-Cov-2 memiliki sebuah mutasi dalam gen yang dikenal dengan nama polybasic cleavage site, yang tak ditemukan dalam virus corona yang ditemukan di kelelawar maupun trenggiling.

Mutasi ini bisa menghasilkan struktur unik dalam duri protein untuk berinteraksi dengan furin, salah satu enzim dalam tubuh manusia. Ketika terjadi kontak antara keduanya, maka lapisan luar virus dan membran sel manusia akan bergabung. Mutasi inilah yang membuat SARS-Cov-2 sangat mudah menular.

Mutasi seperti ini mungkin saja terjadi di binatang yang menjadi inang. SARS dan MERS, misalnya, diduga sebagai turunan langsung virus corona yang ditemukan pada musang serta unta karena kemiripan genetiknya mencapai 99 persen.

Beda halnya pada SARS-Cov-2 pemicu COVID-19. Perbedaan antara virus yang ditemukan pada manusia dan binatang terlalu jauh berbeda, sehingga para ilmuwan mengajukan teori alternatif.

"Mungkin nenek moyang SARS-Cov-2 melompat ke manusia dan memiliki fitur-fitur genom yang dijelaskan di atas lewat proses adaptasi yang terjadi ketika ia menyebar dari manusia ke manusia tanpa terdeteksi," jelas para peneliti.

"Adaptasi itu memicu terjadinya pandemi dan cukup banyak kasus, sehingga pada akhirnya bisa terdeteksi oleh sistem pengawasan kesehatan kita," lanjut para ilmuwan.

Lebih lanjut para peneliti menegaskan bahwa temuan mereka ini memperkuat argumentasi bahwa SARS-Cov-2 adalah virus yang berasal dari alam, bukan hasil rekayasan di laboratorium.

Alasannya karena hasil pemodelan superkomputer paling cepat berbasis pada data-data yang saat ini tersedia, tidak mampu melahirkan perubahan struktur duri protein yang aneh, tapi efisien seperti pada SARS-Cov-2.

"Faktanya, para perekayasa hayati di dunia yang berusaha merancang virus corona tidak akan memilih struktur duri protein seperti ini," kata Collins.

Itulah pernyataan ilmuwan tentang dugaan keberadaan virus corona jenis baru di tubuh manusia puluhan tahun silam. (Suara.com/ Liberty Jemadu).

Berita Terkait
Berita Terkini

Tidak hanya direncanakan sebagai objek wisata, air dari Sendang Tirto Wiguno juga akan diolah menjadi air minum bagi war...

sains | 20:58 WIB

Keputih, yang dulunya menjadi tempat pembuangan akhir (TPA) Kota Surabaya, kini telah bertransformasi menjadi kampung la...

sains | 20:50 WIB

Program Kampung Berseri Astra (KBA) telah menjadi harapan baru bagi warga di kawasan 13 Ulu....

sains | 20:42 WIB

Setaman adalah nama singkatan dari Sehat Perkata dan Nayaman....

sains | 16:31 WIB

Melalui Yandex Cloud, Yandex Weather, dan Yandex School of Data Analytics (YSDA) berkolaborasi untuk mengintegrasikan ke...

sains | 12:33 WIB