Hitekno.com - Melalui penelitian baru, ilmuwan mendapati kalau polusi ozon semakin meningkat. Terutama di belahan Bumi Utara menjadi peningkatan yang tinggi selama 20 tahun terakhir.
Dalam penelitian ini, pertama-tama ilmuwan menggunakan data ozon yang dikumpulkan oleh pesawat komersial.
Penelitian baru, para ilmuwan dari Cooperative Institute for Research in Environmental Sciences (CIRES) di University of Colorado Boulder, mempelajari tingkat ozon di atas belahan Bumi utara.
Baca Juga: Dikenal Punya Tingkat Polusi Tertinggi, Kualitas Udara India Membaik
Dalam menganalisis data ozon yang dikumpulkan oleh pesawat komersial, tim ahli menemukan bahwa meskipun tingkat ozon sangat rendah antara 1994 dan 2004, itu naik ke tingkat yang sangat tinggi antara 2011 dan 2016.
"Kadar ozon yang meningkat ini adalah masalah besar karena itu berarti bahwa saat kami mencoba membatasi polusi secara lokal, itu mungkin tidak bekerja sebaik yang kami duga," kata Audrey Gaudel, penulis utama penelitian dan ilmuwan CIRES yang bekerja di National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).
Para ilmuwan berfokus pada ozon di belahan Bumi utara karean wilayah tersebut mencakup persentase besar manusia yang dipengaruhi oleh kualitas udara. Karena merupakan gas rumah kaca, ozon juga berdampak langsung pada iklim.
Baca Juga: Pamer Foto Langit Bukti Polusi Berkurang, Netizen Bikin Pengakuan Kocak Ini
Penelitian tentang ozon sebelumnya mencoba untuk sepenuhnya memahami tren di belahan Bumi utara karena kurangnya stasiun pemantauan dan data satelit yang bertentangan.
"Kami menemukan selama upaya internasional sebelumnya yang disebut Laporan Penilaian Ozon Troposfer bahwa pengukuran satelit tidak menunjukkan tanda perubahan ozon troposfer," tambah Gaudel.
Menurutnya, tidak dapat mengatakan apakah ozon meningkat atau menurun dalam skala global selama 10 tahun terakhir dan itu mengkhawatirkan, mengingat dampak ozon terhadap iklim, kesehatan, dan vegetasi.
Baca Juga: Polusi Berkurang, Pegunungan Himalaya Terlihat di India Setelah 30 Tahun
Untuk menghindari masalah ini, para ahli menggunakan, pendekatan yang unik dengan mengandalkan data ozon yang dikumpulkan oleh pesawat komersial, sebagai bagian dari program In-Service Aircraft for the Global Observing System (IAGOS) Eropa.
"Data tersebut memberikan informasi yang agak regional, tetapi jika cukup banyak wilayah yang tercakup, kami bisa mendapatkan gambaran secara global," kata Gaudel, seperti dikutip Space.com, Rabu (2/9/2020).
Menurut Gaudel, sejak 1994, IAGOS telah mengukur ozon di seluruh dunia menggunakan instrumen yang sama di setiap bidang. Sehingga, memberi para ahli pengukuran yang konsisten dari waktu ke waktu dan ruang dari permukaan Bumi ke troposfer atas.
Baca Juga: Penampakan Polusi Udara di Eropa, Sesudah dan Sebelum Pandemi Virus Corona
Tim menggunakan data IAGOS yang diambil di troposfer, lapisan terendah atmosfer Bumi, di atas 11 lokasi berbeda di belahan Bumi utara antara 1994 dan 2016. Selama rentang waktu ini, pesawat menangkap 34.600 profil ozon di lokasi tersebut.
Dengan data tersebut, para ilmuwan menemukan bahwa rata-rata tingkat median ozon meningkat 5 persen per dekade.
Selain itu, meskipun ozon menurun di beberapa daerah garis lintang tengah di troposfer bawah, troposfer yang lebih tinggi di atas lokasi seperti Eropa dan Amerika Serikat mengalami peningkatan ozon yang lebih besar.
Penyebab ozon terus meningkat di atmosfer tak lepas dari polusi yang disebabkan manusia. Tim ahli mengamati tingkat nitrogen oksida, salah satu prekursor utama ozon.
Nitrogen oksida merupakan polutan yang sering bersumber dari aktivitas manusia, termasuk produksi pabrik dan kendaraan bermotor.
Dengan pengukuran IAGOS, para ilmuwan mensimulasikan komposisi atmosfer dan menemukan bahwa peningkatan emisi nitrogen oksida di daerah tropis kemungkinan besar menyebabkan peningkatan ozon di belahan Bumi utara.
Setelah penelitian ini, Gaudel bertujuan untuk mempelajari lebih dalam tingkat ozon di daerah tropis dan prekursor pencemaran ini, serta dampak daerah yang tercemar di daerah terpencil. Penelitian ini telah diterbitkan pada 21 Agustus di jurnal Science Advances. [Suara.com/ Lintang Siltya Utami].