Eropa Ingin Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Luar Angkasa

Pembangkit listrik tenaga surya berbasis luar angkasa dapat mengorbit menghadap ke arah Matahari dalam 24 jam.

Agung Pratnyawan

Posted: Minggu, 13 Desember 2020 | 10:00 WIB
Penampakan senja dari luar angkasa. (NASA)

Penampakan senja dari luar angkasa. (NASA)

Hitekno.com - Pembangkit listrik tenaga surya sudah banyak dibangun di muka Bumi. Namun Badan Antariksa Eropa (ESA) akan membuatnya di luar angkasa. Apa tujuannya?

ESA menyampaikan kalau pembangungan pembangkit listrik tenaga surya di luar angkasa ini sebagai respons dari perubahan iklim di Bumi yang terus menjadi tantangan besar.

Kenaikan suhu global hingga pola cuaca yang tak menentu membuat manusia harus mengubah cara menghasilkan dan mengonsumsi energi.

Baca Juga: Hasil Eksperimen, NASA Panen Lobak di Stasiun Luar Angkasa

Teknologi energi terbarukan bisa menjadi jawaban, tetapi memiliki masalah dalam penyerapan energi yang tidak konstan, sebagaimana dilansir dari IFL Science.

Di Bumi, energi baru bisa didapatkan jika angin bertiup dan Matahari bersinar, sementara manusia membutuhkan listrik sepanjang waktu.

Cara yang paling memungkinkan untuk menyiasatinya adalah dengan menghasilkan energi Matahari dari tempat yang selalu tersangkau cahaya, yakni di luar angkasa.

Baca Juga: Kumpulkan Batuan Bulan, Misi Luar Angkasa China Siap Mendarat di Bulan

Opsi ini memiliki banyak keuntungan. Pembangkit listrik tenaga surya berbasis luar angkasa dapat mengorbit menghadap ke arah Matahari dalam 24 jam.

Ilustrasi solar disk di luar angkasa. [Dok. IFL Science]
Ilustrasi solar disk di luar angkasa. [Dok. IFL Science]

Atmosfer Bumi juga menyerap dan memantulkan sebagian cahaya Matahari, sehingga sel surya di atas atmosfer akan menerima lebih banyak sinar Matahari dan menghasilkan lebih banyak energi.

Tetapi salah satu tantangan utama yang harus diatasi adalah bagaimana merakit, meluncurkan, dan menerapkan struktur berukuran besar seperti itu.

Baca Juga: Hal Ini yang Akan Dialami Astronot Jika Terjatuh dari Stasiun Luar Angkasa

Sebuah pembangkit listrik tenaga surya mungkin harus memiliki luas 10 kilometer persegi atau setara dengan 1.400 lapangan sepak bola. Perancang harus menggunakan bahan ringan, mengingat biaya terbesar terletak pada peluncuran ke luar angkasa dengan roket.

Salah satu solusi yang diusulkan adalah mengembangkan ribuan satelit yang lebih kecil yang akan disatukan dan dikonfigurasi untuk membentuk satu generator surya besar.

Sebelumnya pada tahun 2017, para ilmuwan di California Institute of ology menguraikan desain untuk pembangkit listrik modular, yang terdiri dari ribuan ubin sel surya ultralight. Tim ahli juga mendemonstrasikan ubin prototipe dengan berat hanya 280 gram per meter persegi.

Baca Juga: Hasil Penelitian, Bakteri Bisa Bertahan Hidup di Stasiun Luar Angkasa

Dilansir dari IFL Science pada Sabtu (12/12/2020), tantangan besar lainnya adalah mendapatkan daya yang dikirim kembali ke Bumi.

Para ilmuwan berencana untuk mengubah listrik dari sel surya menjadi gelombang energi dan menggunakan medan elektromagnetik untuk mentransfernya ke antena di permukaan Bumi.

Antena tersebut akan mengubah gelombang kembali menjadi listrik. Sebelumnya, tim ilmuwan yang dipimpin oleh Badan Eksplorasi Dirgantara Jepang telah mengembangkan desain dan mendemonstrasikan sistem pengorbit yang dapat melakukan hal ini.

Meski masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan di bidang ini, para ilmuwan berharap pembangkit listrik tenaga surya di luar angkasa akan segera menjadi kenyataan dalam beberapa dekade mendatang.

Para ilmuwan di China telah merancang sistem yang disebut Omega yang ditargetkan akan beroperasi pada tahun 2050. Sistem ini diperkirakan mampu memasok daya 2GW ke jaringan Bumi.

Sebagai perbandingan, untuk mendapatkan tenaga sebesar itu dengan panel surya di Bumi maka membutuhkan lebih dari enam juta panel surya.

Itulah rencana bandan antariksa Eropa yang ingin membangung pembangkit listrik tenaga surya di luar angkasa. (Suara.com/ Lintang Siltya Utami).

Berita Terkait
Berita Terkini

Melalui Yandex Cloud, Yandex Weather, dan Yandex School of Data Analytics (YSDA) berkolaborasi untuk mengintegrasikan ke...

sains | 12:33 WIB

Apa saja fitur canggih yang ada di CBR 150? Simak rinciannya di bawah ini....

sains | 12:12 WIB

Pertamina Foundation bersama Fakultas Kehutanan UGM telah melakukan kerja sama rehabilitasi hutan "Hutan Pertamina UGM"...

sains | 14:04 WIB

Dengan memanfaatkan algoritma AI, perusahaan ini berhasil membuka jalan bagi pengembangan obat terobosan potensial....

sains | 16:10 WIB

Objek ini punya suhu jauh lebih tinggi daripada matahari walaupun tak begitu terang. Objek apa gerangan?...

sains | 16:22 WIB