PLTN Solusi Atasi Pemanasan Global, Ini Kata BRIN

Karena PLTN merupakan sumber energi listrik yang rendah emisi karbon.

Agung Pratnyawan

Posted: Rabu, 17 November 2021 | 21:21 WIB
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir atau PLTN. (Pixabay)

Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir atau PLTN. (Pixabay)

Hitekno.com - Profesor riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Djarot S Wisnubroto menyampaikan kalau pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN bisa menjadi salah satu solusi dalam mengatasi pemanasan global.

Karena PLTN merupakan sumber energi listrik yang rendah emisi karbon, sehingga lebih mengurangi dampak buruk pemanasan global.

"Dengan karakteristik yang hampir bebas karbon dan mampu menghasilkan daya besar terus menerus maka PLTN merupakan salah satu solusi untuk mengatasi pemanasan global," kata Djarot dalam Webinar Nasional Prof Talk: Siapkah Energi Nuklir Mendukung Net Zero Emission Indonesia? di Jakarta, Selasa (16/11/2021).

Baca Juga: Tahun Ini BRIN Mulai Riset Roket Bertingkat, untuk Apa?

Selain emisi rendah karbon, peneliti ahli utama di Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN itu menuturkan PLTN juga bersifat bukan intermittent, yang berarti pasokan energi stabil.

Kemudian, harga listrik yang dihasilkan dari PLTN juga kompetitif dan harga bahan bakar tidak mempengaruhi harga listrik.

Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir atau PLTN. (Pixabay)
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir atau PLTN. (Pixabay)

Dengan membandingkan Jerman, Denmark, Prancis, dan Swedia, Djarot menuturkan negara yang emisi karbonnya paling tinggi per kWh adalah Jerman, yakni sebesar 311 gram, diikuti dengan Denmark yang sebesar 109 gram, Prancis yang sebesar 51 gram, dan yang paling sedikit adalah Swedia dengan 9 gram.

Baca Juga: BRIN: Matahari Tepat di Atas Pulau Jawa Seminggu ke Depan

Ternyata dalam bauran energi listrik di Prancis dan Swedia, sebagian diisi oleh nuklir dan hidro. Prancis mempunyai 67 persen energi bergantung pada PLTN dan 13 persen pada pembangkit listrik berbasis hidro. Swedia mempunyai sumber energi listrik yang 39 persen bergantung pada nuklir dan 39 persen pada hidro.

Jerman memiliki 41,4 persen sumber energi yang bergantung pada energi terbarukan, dan 26,2 persen pada batu bara, dan 11,7 persen pada PLTN. Sementara itu Denmark memiliki 78 persen sumber energinya bergantung pada energi terbarukan, tapi masih menggunakan batu bara.

Dengan melihat komposisi bauran energi di empat negara tersebut, Djarot mengatakan Jerman dan Denmark menghasilkan emisi karbon lebih tinggi dibanding Prancis dan Swedia. Sementara sumber energi berbasis nuklir dan hidro menjadi faktor signifikan dalam mengurangi emisi karbon.

Baca Juga: Hasil Uji Coba Bom Nuklir Pertama Ciptakan Kristal Ini, Punya Keistimewaan?

Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir atau PLTN. (Pixabay)
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir atau PLTN. (Pixabay)

Di sisi harga listrik euro per kWh, paling mahal adalah Jerman, diikuti Denmark dan Prancis, dan paling murah adalah Swedia.

"Itulah kenapa banyak negara mulai mengatakan mari kita coba mulai menggunakan nuklir, tapi nuklir tantangannya adalah membangunnya lama sehingga kebijakan di banyak negara yang sudah punya PLTN perpanjang saja usia PLTN menjadi 80 tahun, yang tadinya 40 dan 60 tahun," ujar Djarot.

Itulah ungkap peneliti BRIN soal PLTN menjadi salah satu solusi pemanasan global. (Suara.com/ Liberty Jemadu).

Baca Juga: Tragedi Chernobyl, Aktivitas Nuklir yang Jadi Mimpi Buruk Seluruh Dunia

Berita Terkait
Berita Terkini

Tidak hanya direncanakan sebagai objek wisata, air dari Sendang Tirto Wiguno juga akan diolah menjadi air minum bagi war...

sains | 20:58 WIB

Keputih, yang dulunya menjadi tempat pembuangan akhir (TPA) Kota Surabaya, kini telah bertransformasi menjadi kampung la...

sains | 20:50 WIB

Program Kampung Berseri Astra (KBA) telah menjadi harapan baru bagi warga di kawasan 13 Ulu....

sains | 20:42 WIB

Setaman adalah nama singkatan dari Sehat Perkata dan Nayaman....

sains | 16:31 WIB

Melalui Yandex Cloud, Yandex Weather, dan Yandex School of Data Analytics (YSDA) berkolaborasi untuk mengintegrasikan ke...

sains | 12:33 WIB